Hujan selalu membuat hatinya teduh, dan luluh. Namun hujan juga selalu membuatnya merasa rapuh. Hujan menguasai dirinya hingga ke dalam relung rasa.
Kala awan mendung datang mendekat untuk datang, maka ia akan bergegas menyelesaikan apapun yang sedang dikerjakannya, Kemudian ia akan menunggu hujan turun, mengharap dari balik jendela, atau terang-terangan memancing hujan dengan menatap langit sambil tersenyum mengundang.
Ia begitu menikmati hujan. Baginya, hujan adalah hidupnya. Hanya kala hujan ia punya waktu menikmati segalanya. Bau tanah basah, bau rumput yang tiba-tiba terasa manis, musik nyaring yang dimainkan air saat memukul atap tanah, daun dan payung-payung orang yang berlalu lalang.
Ia tidak seperti orang lain. Ia tak akan terburu-buru hanya karena tetesan air menghujami bumi. Ia tak akan berlari menghindari gerimis. Ia akan menikmati gerims, membaui sedapnya, merasakan beningnya, bisa berdekatan dengan hujan.
Dan ia akan lebih menikmati hujan, kala tengah sendiri. Torehan jejak di jendela, yang terlukis, terhapus dan terlukis lagi seakan memberi pertunjukkan tanpa henti untuknya. Mata dilayani jutaan aktor berupa butiran hujan dalam pentas alam. Telinganya disuguhi musik tabuh, berupa melodi rumit dimainkan oleh orkestra cair.
Ah, hujan...hujan....ia sangat menyukaimu...
By : C.A
0 komentar:
Posting Komentar